Berbagai bentuk permusyawarataan atas nama demokrasi dan atas nama kepentingan rakyat sudaha digelar semenjak Indonesia belum mendapatkan kedaulatan secara penuh. Seabagian kedaulatan waktu itu dipegang pemerintah Belanda, sebagian yang lain dipegang oleh elit pribumi yang mendapatkan akses istimewa dari penjajah. Orang-orang ini sering juga dikategorikan sebagai ‘Londo Ireng’, ‘kompeni’, atau ‘pengemanann’ yang asik menikmati kekuasaan dengan mengabdi pada penguasa Belanda.
Orang model seperti ini bermental kuli sampai sekarang tetap eksis dalam kancah penguasa nasional dan lokal dengan majikan yang sudah berubah. Secara nurani, fisik, dan akal sehat semua sudah diabdikan sepenuhnya untuk penguasa yang lebih kuat, lebih menentukan masa depan pribadi dan keluarga juga partai politiknya. Sikap inlander di era modern hadir menyusup dan berdampak pada berbagai bentuk kebijakan publik yang sangat menjadikan orang kebanyakan semakin susah: yang melarat semakin sekarat, dan yang sekarat menurunkan generasi melarat dan terus menerus belum jelas kapan ujungnya. Hal ini tidak akan peranh berakhir jika kedaulatan rakyat atau republik ini sepenuhnya dimiliki oleh rakyat.
Dugaan yang kuat, bahwa kedaluatan yang diberikan Belanda pada tahun 1949 itu tidak diberikan ke rakyat Indonesia sebagaimana didnegungkan pada pembukaan UUD 1945 berserta pasal-pasalnya tapi diambilalih oleh elit dan penguasa yang menjadikan pengeloaan sumber daya alam bukan untuk kemakmuran rakyat tapi untuk perut sendiri, keluarga dan golongan saja. Privatisasi BUMN penting, kontrak kerja freeport, dan sebagainya dan sebagainya sama sekali tidak mencerminkan bahwa republik ini adalah hak milik rakyat kebanyakan. Kekuasaan mengelola negeri ini jatuh ke tangan para reptil sekumpulan buaya laut, darat dan udara bersatu dalam berbagai musyawarah kenegaraan dan lagi-lagi membajak rakyat sebagai tempat mengabdi.
Jadi, segala bentuk konggres partai, rapat pleno, rapat paripurna DPR, dan pemilu tak ubahnya adalah pertemuan dan musyawarah para buaya yang hanya berfikir dan berbuat untuk kepentingan buaya karena sudah tabiat buaya yang tak akan pernah memikirkan kehidupan bangsa lainnya. Buaya, selain ganas dan rakus, juga tidak akan berempati pada binatang lain yang kecil, lemah, dan tertindas. Rakyat kebanyakan, 92% bangsa ini hanya menikmati 8 persen sumber daya kekayaan alam bumi pertiwi dan yang 8 % menikmati 92% kekayaan negeri ini. Ini adalah kalkulasi paling ekstrim yang bisa memprovokasi rakyat mengadakan perang melawan pemegang kekuasaan dan pengemplang kedaulatan.
Memang harus diiakui, bahwa biaya konggres para buaya mahal harganya. Gaji para buaya yang tergabung dalam anggota DPR RI sebesar 46,1 juta perbulan, dan pertahun mencapai 554 juta. Ini belum termasuk pendapatan diluar yang tetap, tugas tambahan dan sebagainya. Sementara dampak kepada perubahan nasib rakyat sangat kecil tidak kentara. Untuk membiayai konggres mereka jutaan rakyat harus dikorbankan, jutaan keluarga menggelepar kesakitan terlebih yang sudah miskin dan termiskinkan dan tertimpa bencana pula. Biaya rapat pparipurna, gaji rapat, amplop masa reses, dan study banding itu jauh lebih besar dari hak rakyat yang diterima melalui BLT (Bantuan Langung Tunai. plesetannya, Bantuan langsung tewas) sebanyak 300 -600 ribu. Telaah punya telaah dari berbagai publikasi pemerintah di media mengatakan bahwa soal BLT pemerintah mengklaim sudah “menyantuni” rakyat sebanyak 9,1 juta keluarga dan uang sebanyak 300 ribu konon sudah diberikan semenjak tahun 2005 padahal faktanya satu keluarga hanya maksimal menerima 600 ribu, dan yang lain 300 ribu sepanjang kebijakan BLT diterapkan. Kalaupun toh benar, uang ini bukan berasal dari kantong pejabat atau presiden tapi hak rakyat pemilik negara republik ini.
Katanya ikhlas membantu rakyat, padahal sejatinya bantuan yang dicairkan menjelang pemilu 2009 sangat jelas bahwa ini money politik paling licik sepanjang sejarah republik Indonesia. Anak kecil pun tahu mengapa pembayaran BLT yang sudah merupakan hak rakyat dalam welfare state diundur sampai menjelang pemilu. Untuk kepentingan re-elected (agar terpilih lagi baik yang menjadi capres atau caleg). Tapi pemerintah lewat banyak ‘mulut buaya’ jurkam dan jubir kepresidenan berdalih bahwa pemerintah ikhlas membantu rakyat tanpa tendensi. Buaya memang suka berbicara mendusta, jika bukan mendusta tentu bukan buaya. Kang Gimin di angkringan pun nyeletuk, “Dasar, Buaya darat!” ( Sumber : http://politik.kompasiana.com/2010/11/22/kongres-para-buaya-muahal-biayanya/ )
88pulsa situs slot pulsa online tanpa potongan bonus besar
-
10 DAFTAR SITUS JUDI SLOT ONLINE TERBAIK YANG WAJIB DIMAINKAN PEMULA
Setiap tahun selalu muncul berbagai macam game slot terbaru, ini di
karenakan bany...
3 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar